Perbedaan Ekspresi dan Praktik Keberagamaan
Agama diyakini memiliki
nilai-nilai transenden sehingga sering dipahami sebagai suatu dogma yang kaku.
Namun, nilai-nilai budaya relatif dipandang lebih fleksibel sesuai
kesepakatan-kesepakatan komunitas untuk dijadikan sebagai standar normatif.
Karena adanya perbedaan karakter agama dan budaya itulah maka sering kali
nilai- nilai agama dipertentangkan dengan nilai-nilai budaya lokal yang
sebenarnya telah mempengaruhi perilaku sosial seseorang.
Waktu masuknya Islam ke
Indonesia (Nusantara) masih diperdebatkan. Ada yang berpendapat bahwa sejak
sebelum hijrah telah ada orang Arab yang tinggal di kepulauan ini. Lalu pada
abad ke-13 muncullah untuk pertama kali sebuah komunitas Islam, yang
selanjutnya mengalami perkembangan pesat pada abad ke-15. Pada abad ke-17 /
ke-18 bahkan mayoritas penduduk Jawa dan Sumatera telah memeluk Islam.
Mulanya Islam masuk ke
Indonesia melalui pedagang dari Gujarat dan Malabar India. Lalu belakangan
masuk pula pedagang dan dai-dai Islam dari Hadramaut, di samping
saudagar-saudagar Islam dari Cina. Islam disebarkan dengan cara-cara damai
dengan aliansi politik dan pembiaran terhadap budaya-budaya lokal yang sudah
ada sebelumnya, selama sejalan dengan prinsip-prinsip Islam. Unsur-unsur budaya
lokal non-Islam (Arab) bahkan melekat dalam karakter, pemikiran, dan praktik
keagamaan umat Islam Indonesia. Hal itu mengingat Islam yang masuk ke Indonesia
adalah Islam sufistik yang memang memiliki karakteristik terbuka, damai, dan
ramah terhadap perbedaan.
Model akulturasi budaya
lokal dengan Islam ini sering dianggap sebagai penyebab munculnya karakter
Islam abangan di kalangan masyarakat Jawa. Sebagian orang bahkan menilai bahwa
para Wali Songo sebagai ikon dai-dai awal Islam di Indonesia dianggap belum
berhasil sepenuhnya untuk mengislamkan Jawa. Beberapa bukti disodorkan untuk
memperkuat tesis tersebut, di antaranya paham sinkretisme yang tampak masih
dominan di kalangan masyarakat Jawa. Walaupun bagi pihak yang mendukung metode
dakwah Wali Songo di atas, praktik-praktik yang sering dituduh sebagai
sinkretisme tersebut bukan sepenuhnya amalan yang bertentangan dengan Islam dan
dapat dijelaskan melalui perspektif mistisisme Islam.
Sejalan dengan itu,
muncul pertanyaan, bagaimana seharusnya kita mampu memosisikan diri terkait
dengan hubungan agama dan budaya lokal? Hendaknya kita memosisikan keduanya
secara proporsional, jangan sampai kita hanya mengakui nilai-nilai agama
sebagai satu-satunya konsep yang mengarahkan perilaku tanpa peduli pada
nilai-nilai budaya lingkungan sekitar. Sebaliknya, jangan pula kita hanya
berpakem pada budaya dan tradisi tanpa pertimbangan- pertimbangan yang
bersumber dari agama. Tanyakan pada teman Anda pandangan mereka tentang
proporsionalitas hubungan antara agama dan budaya lokal di atas.
Adanya akulturasi
timbal-balik antara Islam dan budaya lokal (local genius) dalam hukum Islam
secara metodologis harus diakui eksistensinya. Dalam kaidah ushul figh kita
temukan misalnya kaidah, “al-,adah muhakkamah” (adat itu bisa dijadikan hukum),
atau kaidah “al- ,adah syart'atun muhkamah" (adat adalah syariat yang
dapat dijadikan hukum). Kaidah ini memberikan justifikasi yuridis bahwa
kebiasaan suatu masyarakat bisa dijadikan dasar penetapan hukum ataupun sumber
acuan untuk bersikap. Hanya saja tidak semua adat / tradisi bisa dijadikan
pedoman hukum karena tidak semua unsur budaya pasti sesuai dengan ajaran Islam.
Unsur budaya lokal yang tidak sesuai dengan ajaran Islam akan diganti atau
disesuaikan dengan semangat tauhid.
ConversionConversion EmoticonEmoticon